AUDI LORENZO

AUDI LORENZO

Kamis, 27 Februari 2014

Tanaman sagu di tanah Papua Indonesia

Sagu
Bagi masyarakat di Kabupaten Yahukimo khususnya dan masyarakat Papua umumnya, sagu sudah menjadi bagaian dari kehidupan mereka sebagai budaya. Budaya sagu ini erat kaitanya dengan wilayah Papua yang merupakan lumbung bagi pohon sagu. Pohon sagu tersebar luas di seluruh wilayah Papua. Papua sendiri merupakan provinsi yang memiliki lahan sagu terbesar di Indonesia.  85 persen lahan sagu nasional ada di provinsi ini.
 
Bagi penduduk yang berada dipedalaman mendapatkan sagu dengan mencarinya di hutan. Yang bertugas mencari dan kemudian memasak sagu ini biasanya dilakukan oleh kaum perempuan karena dianggap tidak memerlukan tenaga fisik yang besar.
 
Sementara kaum wanita mencari sagu, kaum prianya berburu untuk mencari makanan yang dijadikan lauk untuk dimakan bersama sagu nantinya. Pohon sagu yang siap dan bagus untuk diambil saripatinya yaitu yang berumur antara 3 hingga 5 tahun.
 
Kegiatan mencari sagu ini juga dikenal dengan nama memangkur. Sebelum menebang pohon, pencari sagu memeriksa dahulu apakah pohon tersebut mengandung cukup sagu atau tidak. Cara untuk mengetahuinya yaitu dengan melubangi pohon sagu menggunakan kapak. Dari lubang tersebut para pencari sagu dapat mengetahui kandungan sagu dalam pohon, jika dirasa cukup mengandung sagu maka pohon tersebut akan ditebang. Sagu diperoleh dari pengolahan empulur pohon sagu untuk diambil saripatinya.
 
Empelur pohon sagu berada di bagian dalam batang pohon sagu. Empelur ini terlihat setelah batang pohon sagu dibelah. Empulur atau bagian tengah pohon sagu ini kemudian dipangkur menggunakan ames atau pangkur untuk memperoleh serpihan-serpihan kecil seperti parutan kelapa dalam ukuran yang lebih besar.
 
Untuk beberapa wilayah, sebagian masyarakat Yahukimo sudah menggunakan alat yang lebih modern untuk memperoleh serpihan-serpihan kecil ini. Mereka menggunakan alat seperti parutan kelapa untuk memarut empelur sagu yang sudah dibelah-belah. Selanjutnya serpihan-serpihan sagu tersebut di peras dengan menggunakan campuran air. Hasil perasan tersebut ditampung dalam sebuah wadah.
 
Tahap penampungan ini bertujuan untuk mengendapkan saripati sagu. Setelah beberapa jam, air perasan yang tadinya berwarna putih perlahan berubah menjadi bening di bagian atasnya dan terlihat endapan sagu di dasarnya. Setelah itu air tersebut dibuang hingga hanya tersisa endapan sagu. Sagu inilah yang kemudian siap diolah sebagai bahan makanan.  Satu pohon sagu yang bagus dapat menghasilkan sekitar 120 kg hingga 150 kg.
 
Saat ini, bagi sebagian keluarga mencari sagu bukan hanya untuk dikonsumsi sendiri. Mereka juga mencari sagu untuk di jual di pasar. Hasil penjualan sagu tersebut dapat digunakan untuk membeli keperluan mereka yang lain. (Sumber Buku Profil Kabupaten Yahukimo)

sumber : http://www.yahukimokab.go.id
 

nokenseni kerajinan warga Papua

Noken
 
Noken merupakan tas tradisional penduduk asli Papua, dan secara otomatis menjadi tas tradisional bagi penduduk Kabupaten Yahukimo. Sebagai tas tradisional, noken mempunyai keunikan yang melekat pada cara membawanya.
 
Cara membawa tas Noken yaitu dengan melingkarkan tali di dahi sehingga berat dibebankan ke kepala. Dengan posisi tersebut, bagian bawahnya menggelantung di punggung bahkan hingga pantat. Noken mempunyai fungsi yaitu untuk membawa berbagai macam barang bawaan seperti sayur-mayur, umbi-umbian, buah-buahan, kayu bakar, serta hasil perkebunan atau pertanian lainnya.
 
Bagi ibu-ibu yang mempunyai babi, Noken dapat juga digunakan untuk membawa anak babi. Bahkan, Noken kadang-kadang digunakan juga untuk membawa bayi mereka. Noken terbuat dari bahan dasar yang berasal dari akar-akaran. Akar-akaran tersebut kemudian dibuat benang dan kemudian dianyam menjadi tas keranjang.  

sumber : http://www.yahukimokab.go.id

Tradisi unik tusuk hidung masyarakat Papua

Tusuk hidung merupakan salah satu kebudayaan dari daerah pegunungan tengah Papua. Kebudayaan ini memiliki makna yang mendalam bagi setiap pelakunya. Melubangi bagian tengah hidung (septum) dilakukan umumnya oleh kaum adam. Bukan berarti kaum hawa tidak boleh melakukannya, namun kebanyakan dari kaum hawa memilih untuk melubangi telinganya. Budaya yang satu ini menggambarkan kedewasaan dari pelakunya.
Dewasa dalam arti sudah dapat membantu meringankan pekerjaan orang tua seperti 'membelah kayu' bakar untuk kepentingan keluarga, membantu orang tua mengerjakan ladang bahkan membuka ladang baru sendiri, hingga menggambarkan kesiapan pelakunya untuk hidup berumah tangga.
          Cara melubanginya pun terbilang ekstrim. Melubangi hidung/septum dan telinga tidak menggunakan jarum seperti yang sedang trend saat ini. Tetapi alat yang dingunakan adalah sebatang kayu dengan diameter 1 - 2 cm yang diruncingkan dan ditusukkan pada septum. Kemudian kayu tersebut dibiarkan selama beberapa waktu hingga luka tersebut sembuh dan akan diperoleh lubang sebesar kayu itu.
Pelaku harus berpantang makan buah-buahan seperti ketimun, labu, dan berbagai umbi-umbian yang berbentuk bulat selama dalam masa proses penyembuhan. Selain itu karena telah melubangi hidungnya para pelaku wajib membantu orang tua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Jika hal-hal tersebut dilanggar maka bukannya kesembuhan dan lubang yang bagus diperoleh melainkan infeksi bahkan robeknya septum sehingga akan merusak penampilan yang didapatkan. Hal ini dipercayai oleh beberapa daerah di pegunungan tengah.
            Hidung dan telinga yang telah berlubang ini akan berubah fungsi ketika diadakannya upacara dan pesta adat. Lubang-lubang tersebut akan menjadi tempat bagi assesories penghias wajah. Sepasang taring babi, moncong/paruh panjang burung-burung pemakan buah yang dihiasi dengan manik-manik yang bergantungan, hingga berbagai macam bentuk kayu akan dipasangkan di sana. Bagi kaum adam itulah salah satu cara memikat hati kaum hawa. Sementara jika dalam suasana perang, benda-benda yang dipasangkan dalam lubang tersebut akan menggambarkan kejantanan penggunanya.
Namun sayang, budaya ini nampaknya mulai tergusur oleh jaman. Saat ini jarang ditemukan kaum muda yang melakukan hal tersebut. 
sumber : http://arinanuruld.blogspot.com
 

Mengenal Komunitas Orang Papua

Mengenal Komunitas Orang PAPUA

Seperti kata pepatah  : ”Tak kenal maka Tak sayang” .
Kepulauan papua merupakan salah satu provinsi terluas yang ada di indonesia. Provinsi papua di bagi menjadi dua yaitu Papua bagian barat disebut dengan  Papua Barat, sedangkan bagian timur disebut provinsi Irian Jaya yang kemudian diubah menjadi East New Guinea atau Papua Nugini. Kata Papua berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli yang ada di daerah papua itu sendiri.
Di dalam dalam provinsi papua sendiri terdiri dari 29 kabupaten atau kota yang masing-masing memiliki ibukota yang berbeda, dalam jkabupaten atau kota tersebut terdapat kelompok suku asli yang terdiri dari 255 suku yang berbeda dan juga menggunakan bahasa yang berbeda-beda untuk berkomunikasi, karena belum tentu satu suku yang akan berkomunikasi dengan suku lain mengerti bahasa suku lain tersebut.
Tulisan di atas adalah sebagian kecil tentang provinsi papua, bagaimana jika saya mengenalkan kepada anda akan komunitas orang-orang papua yang khususnya ada di daerah gading serpong. Pertama kali saya bingung mau wawancara orang papua yang mana, karena jumlah orang papua yang ada di daerah gading serpong. Awalnya saya mempunyai satu narasumber yang akan saya wawancara, tapi dia ada tiba-tiba tidak dapat diwawancarai karena ada keperluan mendadak. Jadi terpaksa saya mencari narasumber lain di daerah tempat tinggal saya ,dan di asrama merah juga di depan Surya Institue.





Mungkin banyak orang belum mengetahui  gedung  yang berwana hijau yang ada terletak di depan kampus UMN. Mungkin kebanyakan orang-orang juga heran mengapa di gedung hijau ini banyak sekali  komunitas yang memiliki kulit hitam keluar pada sore hari.
Gedung hijau ini merupakan Surya Institute atau bisa juga disebut Surya Research Education Center yang di bangun oleh Prof. Yohanes Surya, PhD dengan misi melakukan reformasi pembelajaran sains dan matematika yang ada di Indonesia. 
Kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan di Surya Institute ini memiliki tujuan yaitu Prof. Yohanes Surya, PhD ingin mengenalkan Sains dan Matematika kepada siswa, dengan harapan pelajaran tersebut dapat bermanfaat kedepannya bagi siswa. Mahasiswa yang ada di gedung ini berasal dari daerah-daerah tertinggal atau daerah-daerah pegunungan yang adad di papua, seperti kabupaten Yahukimo (Papua), Puncak Jaya (Papua), Kupang (NTT),  Tolikara (Papua), Jayawijaya Papua), Pegunungan Bintang (Papua), Mamberamo Tengah (Papua), Merauke (Papua),  Kota Jayapura  (Papua). Mereka diambil dari pelosok-pelosok dan mereka akan kembali kedaerah masing-masing setelah 4 tahun kuliah (+ 1 tahun matrikulasi). 


Orang-orang  papua yang ada di surya institute ini terdiri dari berbagai suku dan marga, selain itu juga mereka memeluk agama yang berbeda-beda, agama yang biasa di anut oleh orang-orang papua ini yaitu kotolik, nasrani dan islam, meski begitu mereka tetap menghargai satu sama lain.
Alasan mereka datang ke daerah serpong ini yaitu untuk belajar atau menambah ilmu pengetahuan di surya Institue, Ini  merupakan program pemda Papua untuk membayar sekolah anak-anak papua yang mengikuti suatu tes, jika mereka lolos seleksi atau tes. Mereka akan dikirim ke sekolah yang lebih bagus standar mata pelajarannya. Jadi ini merupakan tujuan pemda Papua. Anak-anak papua yang kuliah di Surya Institute ini di beri batas lima tahun oleh pemda untuk belajar di Surya Institute. Biasanya setelah lima tahun mereka kuliah, mereka akan kembali ke Papua dan kemampuan mereka di tes oleh pemda Papua. Setelah mereka lolos dari tahap tes yang di berikan pemda. Mereka dapat kembali menetap di papua.
Kenapa orang-orang papua suka berkumpul dan mengapa mereka hanya berkumpul dengan sesama mereka saja? Mungkin hal ini membuat kebanyakan orang penasaran tapi jawaban dari pertanyyan itu sangat simple yaitu karena mereka termasuk perantauan yang di kirim dari daerah mereka untuk bersekolah disini sehingga mereka harus melakukan banyak interaksi dengan sesama mereka, dari interkasi itu mereka dapat mengetahui kebiasaan-kebiasaan yang dapat di lakukan di daerah yang baru dan untuk melakukan interaksi dengan yang bukan sesama mereka itu mereka tidak berani. Mungkin karena mereka sebagian orang-orang gunung yang dikatakan kurang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. mereka suka berkumpul bersama jika tidak  ada mata kuliah, sehingga membuat mereka mengisi waktu kosong mereka dengan berkumpul untuk bersenda gurau atau mengerjakan tugas di asrama mereka.
Orang-orang papua yang ada di Surya institute ini biasanya selesai belajar sekitar jam lima sore, selesai belajar meresa akan melepas kepenatan mereka akan belajar dengan bermain bersama sesamanya. Kebanyakan permainan yang mereka lalukan itu sama dengan mereka sedang melakukan olahraga. Tempat lahan kosong yang ada di Surya Institue merupakan tempat mereka bermain sepak bola atau pun voli.
Selain melakukan observasi ke orang-orang papua yang ada di surya institute saya juga mewawancarai salah satu orang papua yang ada di daerah tempat tinggal saya. Namanya Bapak Yohanes, ia memiliki marga Fariza jadi nama lengkapnya Yohanes Fariza, ia merupakan orang papua yang telah lama menetap di daerah gading serpong ini, ia juga telah berkeluarga. Pak Yohannes berasal dari kabupaten kaimana, ia memeluk agama islam. Jadi untuk makanan khas jawa dia sudah terbiasa jika makanan tersebut sedikit pedas. Tapi untuk makanan khas jawa yang manis Pak Yohanes ini tetap belum terbiasa. Ia berasal dari Teluk Kargoni merupakan salah satu tempat ia tinggal, orang-orang yang tinggal di sini pun memeluk agama yang berbeda-beda, sehingga terdapat satu kebiasaan yang unik.
Kebiasaan yang uniknya itu kalau biasanya ada pesta perkawinan  atau acara lain, makanan, piring, gelas, garpu atau sendok di sediakan di satu meja dengan tempat yang berbeda. Misalnya makanan, piring, gelas, garpu atau sendok untuk nasrani dan katolik berada di meja bagian kanan, sedangkan untuk yang muslim makanan, piring, gelas, garpu atau sendok ata di meja bagian kiri. Kebiasaan unik lainnya itu jika di kampung tersebut ada yang muslim, orang-orang papua yang beragama katolik dan nasrani akan memberikan ikan, singkong, dll untuk masyarakat muslim tersebut kemudian sebaliknya orang muslim pun akan melakukan hal yang sama kepada orang-orang yang beragama katolik dan nasrani. Kemudian jika ada orang-orang nasrani  dan orang-orang katolik yang ingin menyantap daging babi mereka harus pergi ke hutan atau ke kebun untuk mamasak babi tersebut. Karena di kapung pak Yohanes tersebut ada peraturan bahwa orang-orang nasrani dan katolik tidak boleh memanggang dan menggoreng babi di kampung tersebut. Hal ini di maksudkan agar orang muslim yang ada di kampung tersebut tidak mencium aroma daging babi, sehingga hal tersebut tidak membuat mereka melanggar aturan agamanya. Jika ingin memasak daging babi itu orang-orang nasrani dan katolik hanya dapat memasak yang basah( kuah) tidak boleh kering ( goreng atau bakar).
Di kabupaten kaimana sendiri terdiri dari tujuh suku yang berbeda dan memiliki bahasa yang berbeda pula untuk berinteraksi. Sehingga Pak Yohannes belum tentu dapat berinteraksi dengan ke tujuh suku yang ada di kabupaten kaimana ini, sebenarnya kosakata bahasa yang ada di setiap suku itu sama yang membedakan bahasa tersebut hanya bahasa kasar dan halus dalam penyampaiannya. Di satu suku mungkin harusmenggunakan bahasa yang pengucapannya halus yang bertujuan untuk menghormati orang yang lebih tua darinya. Biasanya orang-orang yang ada di teluk kargoni saling menggunjungi satu sama lain pada hari raya agama meski agama mereka berbeda-beda, misalnya orang-orang nasrani dan katolik datang berkunjung ke orang-orang muslim yang sedang merayakan hari Ramadhan. Begitu pula orang muslim ia akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan orang-orang nasrani.
Di irian tidak boleh ada pertikaina, kenapa? Karena itu merupakan sumpah adat yang ada di daerah tersebut yang melarang adanya pertikaian antar umat beragama. Kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat papua waktu dulu yaitu ? menurut pa Yohannes  waktu dulu orang-orang papua terkenal suka berkelahi dan mabuk-mabukan. Pak yohannes sendiri sudah mengenal tuak dari kelas 4 SD, biasanya ia mendapat tuak itu dari daerah Enaou. Minum Tuak ini biasanya bersamaan dengan memakan gambir ( biasanya orang jawa gunakan untuk nginang ). Itu merupakan salah satu kebiasaan yang ada pada orang-orang papua, kebiasaan itu biasanya mereka dapatkan dari mereka kecil.
 Sampai disini cerita berakhir, meski awalnya saya penasaran denga orang-orang papua. akhirnya dengan tugas KAB ini saya melakukan wawancara sendiri ke orang-orang papua tersebut, yang akhirnya membuat rasa penasaran saya pun hilang tak tersisa. ini merupakan pengalaman baru saya untuk mengenal orang-orang papua lebih mendalam.
 
sumber : http://tugaskab.blogspot.com

Fakta-Fakta tentang Papua Indonesia

FAKTA-FAKTA UNIK TENTANG PAPUA



1. Di Papua terdapat 268 bahasa daerah selain Bahasa Indonesia yang digunakan dan dikembangkan oleh berbagai suku di sana. Sehingga para peneliti di Amerika dan Eropa menyebut tanah Papua sebagai laboratorium bahasa.
Silakan di intip:
http://www.thecrowdvoice.com/post/bahasa-di-papua-dan-papua-barat-5924669.html

2. Bagian utara dan timur Papua merupakan daerah rawan gempa, sedangkan di bagian selatan termasuk daerah yang stabil.

3. Terdapat lebih dari 255 (52 %) suku asli di wilayah Papua. Sedangkan 48 % nya adalah Non-Papua yang didominasi oleh suku dari Jawa dan dari Sulawesi.

4. Di Papua terdapat Puncak Jaya yang merupakan puncak gunung tertinggi di Indonesia dengan ketinggian diatas 5.000 meter. Puncak ini unik karena bersalju abadi padahal terletak di garis khatulistiwa.

5. Papua memiliki beberapa fauna khas diantaranya Cendrawasih, burung pintar, Kanguru, Kus-kus, kupu-kupu sayap burung dan Kasuari yang endemik di wilayah tersebut.
baca lebih lanjut gan:
http://www.thecrowdvoice.com/post/burung-cendrawasi-dari-papua-4891447.html

http://www.thecrowdvoice.com/post/burung-pintar-dari-papua-barat-4779728.html

http://www.thecrowdvoice.com/post/kupu2-sayap-burung-dari-papua-4800635.html

6. Di Papua terdapat tumbuhan obat yang disebut "SARANG SEMUT" dan "BUAH MERAH" yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, dan bisa menyembuhkan penyakit HIV/AIDS.
Lebih lengkapnya di sini sob:
http://www.thecrowdvoice.com/post/buah-merah-papua-5904098.html

7. Salah satu senjata tradisional suku Papua adalah pisau belati yang terbuat dari tulang kaki burung kasuari dan hulunya dihiasi bulu dari kasuari.


sumber : http://www.thecrowdvoice.com

Tradisi masyarakat Papua dalam minuman keras

Minuman keras (Miras) menjadi salah satu masalah di antara banyak masalah di tanah Papua. Alkohol telah membunuh orang Papua seperti masalah lainnya yang juga membunuh. Dengan mengkonsumsi alkohol yang berlebihan membuat orang tidak sadarkan diri. Ada statement mengatakan ‘’kalau orang papua kaya tidurnya di pinggiran jalan kalau miskin tidurnya di kasur empuk, kalau orang jawa kaya tidurnya di kasur empuk kalau miskin tidurnya di bawa kolong jembatan.’’
Dari statement di atas sesuai dengan realita dalam keidupan di sekitar kita, contohnya di kota Sorong. Terbukti apabila anda berolahraga pagi pada hari minggu maka anda akan menemukan orang papua kaya sedang terbaring di pinggiran jalan karena baru saja merayakan pesta miras semalam. Sebaliknya orang jawa miskin di Jakarta anda akan menemukan tempat tinggalnya di bawa kolong jembatan. Ini menunjukkan bahwa kurangnya kepedulian pemerintah setempat.
Dalam keadaan seperti itu, maka apa saja dapat dilakukan, termasuk seks bebas. Bisa mati ditabrak mobil di jalan raya, dibunuh orang di pasar, bisa juga mati karena berlebihan alkohol, dan bahkan mati karena seks bebas yang dikendalikan oleh alkohol.
Perlu diketahui bahwa angka kematian orang Papua saat ini tinggi. Sementara angka kelahiran sungguh sedikit. Hampir setiap saat orang Papua banyak yang mati karena alkohol, terutama anak-anak usia produktif. Belum lagi mati karena faktor lain. Orang Papua seakan lahir sekarang untuk mati besok. Kalau tidak lahir sekarang besok tetap mati, itulah kenyataannya.
Dalam diskusi dengan sejumlah Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda , Akademisi, Aktivis LSM dan Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah Nabire, Ruben Edowai mengatakan “Dalam beberapa bulan ini saja, sudah sebanyak 365 orang dari suku Mee meninggal dunia di Nabire. Ini bukan mengada-ada, tapi data yang kami temukan di lapangan, katanya seperti dikutip PapuaPos, 20 Mei 2007. Lalu bagaimana di Jayapura, Timika, Sorong, Merauke, Biak, Serui, Fak-fak, Wamena, Pegunungan Bintang, Enarotali, Puncak Jaya dan lainnya?
Minuman keras adalah candu. Pemahaman ini bertitik tolak dari realita dan tidak bisa dipungkiri. Ada beberapa teman dalam pembicaraan mengatakan hidup tanpa minum alkohol rasanya kurang. Ucapan itu sepertinya sudah membenarkan alkohol (minuman keras) sebagai candu.
Banyak teman mengakui dengan minum alkohol (mabuk) membuat mereka percaya diri, berani tampil di depan umum untuk mengekspresikan diri, tentang bakatnya yang terpendam. Ataupun berani untuk membuat kegaduhan, bahkan ada yang menjadi berani untuk melakukan ataupun terlibat dalam kasus pemerkosaan, perkelahian dan pembuhuhan. Ini mebenarkan pengakuan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Komisaris Besar Drs. Daud Sihombing SH, Dari catatan polisi pada setiap laporan akhir tahun, semua kejadian kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, pencurian, penipuan, pemerasan, teror dan seterusnya berawal dari miras. Miras ini membuat orang menjadi pemalas, bermental santai tetapi ingin mendapat untung besar, dan semangat belajar para siswa sekolah pun menurun. Hal itu terjadi karena seorang alkoholik nalar sudah tidak akan berfungsi sebagai manusia normal barangkali seperti orang kelainan jiwa alis gila.
Bila kita melirik sejarah Papua, terutama di kalangan orang pegunuangan Papua mereka tidak sama sekali mengenal minuman beralkohol. Tidak ada tradisi pesta minuman keras, karena tidak ada bahan untuk produk alkohol. Kecuali derah pesisir pantai Papua mereka yang lebih dahulu sudah melakukan kontak dengan orang luar Papua. Mereka sudah mengenal minuman beralkhohol dari pohon kelapa ataupun aren yang disebut sagero (saguer/bobo).

Seorang aktivis Aborigin, Charles Perkin menuliskan, bahwa orang Aborigin sering minum dalam pertemuan-pertemuan tradisional, tidak sebagai minuman-minuman yang sengaja melanggar tata cara minum sebagimana mestinya. Mereka justru memenuhi sindrom kasihanilah saya kalau mereka di perbolehkan memperlihatkan tata cara minum yang tidak dapat diterima umum. Hal yang sama juga terjadi di kalangan para pecandu alkohol di Papua. Kadang minum hanya untuk mecari perhatian, ataupun untuk melampiaskan emosi. Dengan demikian mereka terlihat sebagai manusia yang tidak dewasa menyelesaikan masalah.
Bisakah kita menerima ketika mengatakan alkohol sebagai candu masyarakat? Entalah. Tetapi, yang jelas di dunia ini apa lagi yang bukan candu? Semuanya cantu? Hehehe……. Tidak tahu! Wow, Sebenarnya pengertian tentang candu tidak begitu dijelaskan secara detail. Makna candu kadang sama dengan ketagihan, sesuatu yang sangat disukai atau sesuatu yang menjadi kegemaran.
Kecanduan itu datang dari suatu proses yang perlahan menggerakkan kita untuk terlibat di dalammya. Setelah kita terbiasa dengan kegiatan tersebut dan menjadi kegemaran kita baru disebut sebagai kecanduan. Hanya saja candu kadang bermakna negatif, dibandingkan kata kegemaran atau hobi, atau kebiasaan.
Sahabat, tahu tidak pemberantasan miras hanya sebuah “WACANA’’.
Itulah sebabnya, pemberantasan alkoholime hanya menjadi wacana menarik diantara kita yang punya tingkat pemahaman dan nalar baik. Dengan menghilakang anggapan kolot, bahwa Alkohol hanyalah suatu masalah di kota-kota besar dan tidak di kota-kota kecil ataupun di perkampungan yang terpencil. Justru di tempat-tempat terpencil saat ini masalah alkohol sangat kritis. Tingkat penganguran sangat tinggi, di antara generasi mudahnya terjadi kebosanana yang amat sangat, dan sekolah-sekolah setempat tidak dapat menampung minat kaum mudah. Mengkonsumsi tanpa mengetahui efek samping dan dampak sebagai pembunuh jiwa manusia sehat.
Mengapa demikian? Orang yang alkoholisme tetap terlihat seperti kelainan jiwa, sakit jiwa, sebagai akibat melemah atau matikanya syaraf ingatan. Disanalah kaum perubah dan sasaran diskusi menjadi tempat pilihan. Tidak hanya diskusi tetapi, kemudian menjadi wujutnyata, karya bagi pembebasan manusia dari keterbelengguhan jiwa.
Pecandu alkohol di Papua terus bertambah. Sudah sangat mejarah kalangna muda dan tua tanpa memandang perbedaan sex. Alkoholisme menyebakan meningkatnya tingkat kriminalitas di kota maupun di perkampuangan. Dan saat ini pembunuhan bermotif alkohol semakin gencar untuk melakukan tindakan genosida di Papua. Ada beberapa kasus, misalkan pada tahun 1999, seorang intelek Papua, Obet Badii, Dosen Filsafat Fajar Timur yang dibunuh oknum tertentu. Untuk menghilangkan jejek, pembunuh lalu menumpahi minuman beralkohol dibagian mulutnya. Padahal yang sebenarnya ia tidak biasa mengonsumsi minuman beralkohol. Kita juga masih ingat untuk kepentingan membeli alkohol Arnol Ap seorang tokoh intelek mudah dijual oleh temannya yang sudah terjangkit penyakit alkoholisme.

sumber : http://unik.kompasiana.com

Tradisi Bakar batu khas Rakyat Papua

Mengenal Tradisi Bakar Batu Rakyat Papua


Papua, pulau paling timur Nusantara ini memiliki potensi pulau yang indah dan keunikan tradisinya. Papua menyimpan berbagai warisan kebudayaan yang harus dilestarikan agar tidak punah adat istiadat yang telah diciptakan oleh leluhur kita.
Salah satu keunikan kebudayaan Papua adalah dengan adanya upacara tradisional yang dinamakan dengan Bakar Batu. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi terpenting di Papua yang berfungsi sebagai tanda rasa syukur, menyambut kebahagiaan atas kelahiran, kematian, atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang.
Tradisi Bakar Batu ini dilakukan oleh suku yang berada di lembah Baliem yang terkenal cara memasaknya dengan membakar batu. Pada perkembangannya, tradisi ini mempunyai berbagai nama, misalnya masyarakat Paniai menyebutnya Gapiia, masyarakat Wamena menyebutnya Kit Oba Isogoa.
Persiapan awal tradisi ini masing-masing kelompok menyerahkan babi sebagai persembahan, sebagian ada yang menari, lalu ada yang menyiapkan batu dan kayu untuk dibakar. Proses membakar batu awalnya dengan cara menumpuk batu sedemikian rupa kemudian mulai dibakar sampai kayu habis terbakar dan batu menjadi panas.
Kemudian setelah itu, babi telah dipersiapkan untuk dipanah terlebih dahulu. Biasanya yang memanah babi adalah para kepala suku dan dilakukan secara bergantian. Ada pandangan yang cukup unik dalam ritual memanah babi ini. Ketika semua kepala suku sudah memanah babi dan babi langsung mati, pertanda acara akan sukses. Sedangkan jika babi tidak langsung mati, diyakini acara ini tidak akan sukses.
Tahap berikutnya adalah memasak babi tersebut. Para lelaki mulai menggali lubang yang cukup dalam, kemudian batu panas dimasukan ke dalam galian yang sudah diberi alas daun pisang dan alang-alang sebagai penghalang agar uap panas batu tidak menguap. Di atas batu panas diberikan dedaunan lagi, baru setelah itu disimpan potongan daging babi bersama dengan sayuran dan ubi jalar. Setelah makanan matang, semua suku Papua berkumpul dengan kelompoknya masing-masing dan mulai makan bersama. Tradisi ini dipercaya bisa mengangkat solidaritas dan kebersamaan rakyat Papua.
Saat ini tradisi Bakar Batu bukan hanya untuk merayakan kelahiran dan kebahagian. Tradisi ini mulai digunakan untuk menyambut tamu besar yang berkunjung ke Papua, seperti kunjungan Presiden dan lainnya.

sumber : http://palingindonesia.com

Tradisi Barapen Khas Papua

Jombang, Sayangi.com - Sekelompok penduduk tampak bergotong royong mencari bebatuan di sungai terdekat di sudut desa Mojowarno, Jombang. Ada yang unik di balik sekelompok orang yang berkerumun memilih bebatuan. Mereka adalah masyarakat Papua yang tengah menunjukkan bagaimana memilih batu-batu yang bisa digunakan untuk barapen. Barapen sendiri memiliki arti bakar batu. Semua warga desa bahu membahu mencari bebatuan demi mengetahui keunikan budaya papua yang khas.

Pesta Bakar Batu mempunyai makna tradisi bersyukur dan merupakan sebuah ritual tradisional Papua yang dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur atas berkat yang melimpah, pernikahan, penyambutan tamu agung, dan juga sebagai upacara kematian. Upacara barapen juga membuktikan adanya perdamaian antar masyarakat setelah terjadi perang suku.
Sesuai dengan namanya, dalam memasak dan mengolah makanan untuk pesta tersebut, suku-suku di Papua menggunakan metode bakar batu. Tiap daerah dan suku di kawasan Lembah Baliem memiliki istilah sendiri untuk merujuk kata bakar batu. Masyarakat Paniai menyebutnya dengan gapii atau ‘mogo gapii‘, masyarakat Wamena menyebutnya kit oba isago, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan barapen. Namun tampaknya barapen menjadi istilah yang paling umum digunakan.
Pesta Bakar Batu juga merupakan ajang untuk berkumpul bagi warga. Dalam pesta ini akan terlihat betapa tingginya solidaritas dan kebersamaan masyarakat Papua. Namun dalam Festival Prakarsa Rakyat yang mengumpulkan simpul-simpul perkumpulan Praxis dari seluruh Indonesia ini, tak hanya masyarakat Papua yang bahu membahu tetapi juga masyarakat desa Mojowarno Jombang dan simpul-simpul dari Aceh, Jakarta, Jawa Barat, Jogja hingga Bali. Prosesi Barapen digunakan untuk menonjolkan sekaligus mengingatkan bahwa sikap gotong royong yang telah mengakar di bumi Indonesia kini nyaris punah dan harus dibumikan kembali.
Max Binur, perwakilan kelompok yang jauh-jauh datang dari Papua mengatakan, prosesi Pesta Bakar Batu terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan, bakar babi, dan makan bersama. "Tahap persiapan diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan untuk memasak. Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan pada bagian paling bawah ditata batu-batu berukuran besar, di atasnya ditutupi dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu. Kemudian tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas," katanya.
Sementara itu, menurut Max, warga yang lainnya mempersiapkan sebuah lubang yang besarnya berdasarkan pada banyaknya jumlah makanan yang akan dimasak. Dasar lubang itu kemudian dilapisi dengan alang-alang dan daun pisang. Dengan menggunakan jepit kayu khusus yang disebut apando, batu-batu panas itu disusun di atas daun-daunan. Setelah itu kemudian dilapisi lagi dengan alang-alang. Di atas alang-alang kemudian dimasukan daging babi, ayam, atau kambing. Namun karena di Jombang mayoritas penduduknya adalah islam, maka yang digunakan adalah daging kambing dan daging ayam. Setelah disusun, kemudian ditutup lagi dengan dedaunan. Di atas dedaunan ini kemudian ditutup lagi dengan batu membara, dan dilapisi lagi dengan rerumputan yang tebal.
Setelah itu, hipere (ubi jalar) disusun di atasnya. Lapisan berikutnya adalah alang-alang yang ditimbun lagi dengan batu membara. Kemudian sayuran berupa iprika atau daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang), dan towabug atau hopak (jagung) diletakkan di atasnya. Tidak cukup hanya umbi-umbian, kadang masakan itu akan ditambah dengan potongan barugum (buah). Selanjutnya lubang itu ditimbun lagi dengan rumput dan batu membara. Teratas diletakkan daun pisang yang ditaburi tanah sebagai penahan agar panas dari batu tidak menguap.
 Persiapan barapen
Sembari menunggu, kawan-kawan Papua yang sudah bersiap dengan pakaian tradisionalnya dan melukis dirinya dengan cat berwarna putih mulai menari diiringi musik khas Papua dengan mengelilingi barapen sembari menunggu makanan matang.
Sekitar 60 hingga 90 menit masakan itu sudah matang. Setelah matang, rumput akan dibuka dan makanan yang ada di dalamnya mulai dikeluarkan satu persatu, kemudian dihamparkan di atas rerumputan.
Syahdan, pesta Bakar Batu merupakan acara yang paling dinantikan oleh warga suku-suku pedalaman Papua. Demi mengikuti pesta ini mereka rela menelantarkan ladang dangan tidak bekerja selama berhari-hari. Selain itu, mereka juga bersedia mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk membiayai pesta ini. Pesta ini sering dilaksanakan di kawasan Lembah Baliem, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Indonesia.
Namun, kepastian titik lokasi dilaksanakannya ini tidak menentu. Jika sebagai upacara kematian maupun pernikahan, pesta ini akan dilaksanakan di rumah warga yang memiliki hajatan. Namun, bila upacara ini sebagai ucapan syukur atau simbol perdamaian biasanya akan dilaksanakan di tengah lapangan besar. (FIT)

sumber : http://www.sayangi.com

Desa Unik Marandan Weser dan Way Weser di Papua Barat

Desa Unik Marandan Weser dan Way Weser di Papua Barat





Sambut tamu: Tarian Yospan menyambut tamu di Tunduwe Raja Ampat, Papua Barat. Foto JPNN
Pegang Teguh Tradisi Tidak Merokok dan Minum Miras
Makin banyaknya wisatawan yang mengunjungi Marandan Weser dan Way Weser, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, tidak membuat dua desa tersebut terkontaminasi budaya luar. Penduduknya kukuh menjaga tradisi nenek moyang. Mereka tidak merokok dan tidak minum minuman keras (miras).
Laporan M. Ali, JAKARTA
Raja Ampat kini bukan nama asing lagi di telinga. Keindahan alam bawah lautnya sungguh memesona. Wisatawan domestik maupun asing dibuat penasaran ingin membuktikan kecantikan wisata bahari di Indonesia Timur itu.
     Namun, tidak banyak yang tahu bahwa Kabupaten Raja Ampat terdiri atas empat pulau besar yang masing-masing dipisahkan lautan. Empat pulau tersebut adalah Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta. Di pulau terakhir itulah terdapat Desa Marandan Weser dan Way Weser yang melegenda tersebut.
    Para wisatawan akan disambut ombak kecil di hamparan pasir putih nan alami. Bunyi suling tambur dan tarian Yospan di atas dermaga berbahan kayu sepanjang 80 meter akan membawa pengunjung menuju dua desa tersebut.
     Menurut Lasarus Ulim, salah seorang tokoh masyarakat Desa Maradan, tradisi warga yang tidak mengenal rokok dan minum miras itu sudah berlangsung sangat lama. Turun-temurun dan dijaga ketat hingga saat ini.
    Lasarus menjelaskan, sebenarnya tradisi mulia tersebut berlaku di seluruh wilayah Raja Ampat. Namun, seiring perkembangan zaman dan pengaruh budaya dari luar, kini tinggal dua desa itu yang masih memegang teguh aturan kuno tersebut.
    ’’Hanya Marandan Weser dan Way Weser yang mampu mempertahankan tradisi dan kepercayaan nenek moyang itu hingga sekarang,” tutur Lasarus kepada Jawa Pos (grup Radar Lampung) yang pekan lalu mengunjungi dua desa itu. ’’Kami jadi lebih sehat tanpa rokok dan minuman keras,” tambahnya.
    Meski memegang teguh tradisi itu, penduduk Desa Marandan Weser dan Way Weser sangat menghormati wisatawan atau orang asing yang tidak tahu tradisi tersebut. Mereka tak pernah melarang wisatawan yang karena tidak tahu merokok atau minum minuman beralkohol.
    Dalam budaya mereka, tamu adalah raja sehingga harus dihormati. Mereka tak berkeberatan jika ada tamu yang secara ’’tidak sengaja” melanggar tradisi desa itu. Namun biasanya, si tamu akan diberi tahu bahwa di desa tersebut ada tradisi yang tidak membenarkan orang merokok dan minum miras.
    ’’Tidak sopan jika kami harus mengusir atau menegur dengan keras. Sebab, mereka adalah tamu. Beda halnya jika mereka adalah warga asli sini. Maka teguran bahkan pengasingan akan kami berikan jika mereka melanggar apa yang sudah kami anut itu,” tuturnya.
    Bahkan, kata Lasarus, warga pantang mengambil barang milik orang lain. Misalnya, ada barang wisatawan yang tertinggal, pasti dikembalikan. Warga tidak berani melanggar.
    Selain itu, warga kedua desa tidak memakan daging, kecuali ikan. Setiap hari mereka hanya makan sayuran dan buah-buahan. Dalam kepercayaan mereka, hewan juga mempunyai nyawa seperti manusia sehingga tidak dibenarkan untuk dibunuh dan dimakan dagingnya.
    Hal itu mendorong warga untuk giat bercocok tanam dan melakoni pekerjaan sebagai nelayan. Mereka hidup dari dua pekerjaan tersebut. Masyarakat suku Tasdarum yang hidup di dua desa itu pun mengganti tradisi bakar batu yang biasanya menggunakan daging babi dengan hasil kebun mereka. Antara lain menggunakan umbi-umbian hasil panen.
    Cara seperti itu, kata Lasarus, dilakukan warga untuk menyelaraskan dengan alam. Keselarasan yang telah dijalani selama beratus-ratus tahun membuat mereka bisa bertahan hidup tanpa bantuan dari pemerintah. Dua desa itu hampir tidak tersentuh pembangunan. Semua masih alami.
    Kehidupan alam dan manusia menjadi instrumen harmonisasi di dua desa tersebut. Segala sesuatu menjadi irama keseimbangan untuk keberlangsungan hidup. Tersenyum, yang biasanya hanya menjadi basa-basi, menjadi kewajiban bagi mereka.
    Namun, makin banyaknya orang luar yang berkunjung ke dua desa itu akhir-akhir ini sedikit banyak mulai memberikan efek yang kurang baik bagi warga setempat. Sebab, orang luar tidak hanya berwisata. Namun, ada juga yang merusak alam. Misalnya, ada yang menebang kayu hutan sembarangan atau menjarah hasil laut dengan alat peledak.
    ’’Dulu kami mancing bisa dapat 50 kilogram. Sekarang 3-4 kilogram saja yang didapat. Hutan kami juga sudah hancur oleh penebang-penebang liar. Kami hanya bisa menegur, tidak bisa berbuat apa-apa. Kami tak bisa memanfaatkan kearifan lokal,” tutur Spenser Pariri, tokoh pemuda sekaligus anak Kepala Kampung Leopold Pariri.
    Dua desa yang dihuni 73 kepala keluarga atau sekitar 550 jiwa itu kini berganti nama menjadi Desa Surya Paloh Tunduwe. Hal tersebut terjadi setelah ketua umum Partai Nasdem itu mengunjungi dua wilayah terpencil tersebut dan memberikan bantuan. Paloh berjanji membangun sebuah SD dengan 12 kelas, sejumlah rumah lengkap dengan kamar mandi dan pompa air bersih, serta memberikan fasilitas koperasi untuk membantu perekonomian warga.
    Menurut Spenser, desanya memang memerlukan uluran bantuan untuk membangun. Sebab jika tidak ada bantuan, infrastruktur di dua desa itu akan semakin tertinggal.
    ’’Kami kadang malu kepada para wisatawan asing karena desa kami ketinggalan dibanding desa lain," tuturnya.
    Spenser berharap dengan bantuan infrastruktur itu, tingkat pendidikan di kampungnya semakin baik. Kehidupan masyarakat juga bisa makin sejahtera.
    ’’Dulu kami pernah menggarap sawah 20 hektare secara manual. Tapi tidak adanya fasilitas yang memadai, panen kami gagal. Mudah-mudahan dengan bantuan ini panen kami lebih baik," ungkapnya.
    ’’Meski begitu, kami tidak bisa mengubah tradisi yang sudah kami jalani ratusan tahun ini. Inilah prinsip hidup kami," tegasnya. (p2/c1/ary)

sumber : http://www.radarlampung.co.id

Sumber Daya Alam di Papua Indonesia

Sumber Daya Alam Provinsi Papua

Cetak PDF
papua.png
Provinsi ini sangat kaya dengan berbagai potensi sumberdaya alam. Sektor pertambangannya sudah mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% perekonomian Papua, dengan tembaga, emas, minyak dan gas menempati posisi dapat memberikan kontribusi ekonomi itu. Di bidang pertambangan, provinsi ini memiliki potensi 2,5 miliar ton batuan biji emas dan tembaga, semuanya terdapat di wilayah konsesi Freeport. Di samping itu, masih terdapat beberapa potensi tambang lain seperti batu bara berjumlah 6,3 juta ton, barn gamping di atas areal seluas 190.000 ha, pasir kuarsa seluas 75 ha dengan potensi hasil 21,5 juta ton, lempung sebanyak 1,2 jura ton, marmer sebanyak 350 juta ton, granit sebanyak 125 juta ton dan hasil tambang lainnya seperti pasir besi, nikel dan krom.
Karena 90% dari daratan Papua adalah hutan, produk unggulan pun banyak lahir dari belantara yang dipadati lebih dari 1.000 spesies tanaman. Lebih dari 150 varientas di hutan itu merupakan tanaman komersial. Hutan di Papua mencapai 3l.079.185,77 ha, terdiri atas hutan konservasi seluas 6.436.923,05 ha (20,71%), hutan lindung 7.475.821,50 ha (24,05%), hutan produksi tetap 8.171606,57 ha (26,3 %), hutan produksi terbatas 1.816.319 ha (5,84%), dan hutan yang dapat dikonversi 6.354.726 ha (20,45%). Ditambah areal penggunaan lainnya 821.787,91 ha (2,64%). Hutan hutan di provinsi ini memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan asli daerah, Contoh, sebanyak 323.987m3, kayu bangunan/timber sebanyak 1.714 m3, kayu balok olahan/block board sebanyak 1.198 m3, triplek/plywood sebanyak 88.050 m3 dan kayu olahan/chips sejumlah 45.289 m3.
Di sektor perkebunan, dari 5.459.225 ha lahan yang ada, tak kurang dari 160.547 ha sudah dimanfaatkan untuk perkebunan rakyat (PR) maupun perkebunan besar (PB), tenaga kerja dengan total produksi 62.153 ton. Komoditas unggulan pada 2005 dengan total produksi 12.347 ton (19,87%), sawit dengan produksi 31.021 ton (49,91%), kakao dengan produksi 11.363 ton (18.28%), kopi Arabic produksi 2.583 ton (4.16%), buah merah dengan produksi 1.889 ton (3,04%) dan karet dengan total produksi 1.458 ton (2,35%). Pada 2005 kayu mencapai 20.711 ton dan Jayapura dengan produksi 2.444 ton pada 2005. produksi sayur mayur selama 2005 hanya mencapai 13,99 ton, menurun dibandingkan dengan 2004 yang mencapai 25,78 ton.
Provinsi ini memiliki lahansawah beririgasi teknis seluas 3.845 ha pada 2006, beririgasi nonteknis 3.696 ha. Total saluran irigasi primer mencapai 1.984 km, irigasi sekunder 23,45 km sementara irigasi tersier 4,25 km. Sawah sawah tersebut dapat menghasilkan 61.922 ton padi, meningkat dibanding dua tahun terakhir mencapai 61.750 ton. Pada saat Panen Raya Padi di Merauke, padatanggal 5 April 2006, Presiden berharap bahwa: ”Merauke menjadi sentara pertumbuhan baru, bukan hanya untuk padi, tetapi juga untuk sektor lainnya”. Presiden berpesan, ... ”ketika terjadi pertumbuhan sawah, pertumbuhan tebu, pertumbuhan kelapa sawit, nantinya pendidikan dan lain lain, tenaga kerja dan lain-lain, tolong sekali lagi diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraan penduduk asli sehingga betul-betuk kesetaraan yang baik, dengan demikian dapat meningkatkan persaudaraan dan harmoni diantara semua warga yang ada di daerah ini”.
Di sektor perikanan, memiliki kekayaan yang kurang besar di sepanjang 1.170 mil garis pantai yang dipenuhi ribuan pulau pulau kecil. Provinsi ini memiliki terumbu karang terkaya dan terbaik di dunia. Hutan bakau terluas dan terbaik di dunia, dengan berbagai jenis ikan mulai dari pelagis besar, kecil, kerapu, udang, teripang, kerang, dan lain lain. Potensi lestari perikanan Papua sebesar 1.404.220 ton per tahun, dengan produksi tahun 2005 mencapai 209.210,3 ton, meningkat 13,29% dibanding produksi 2004 yang hanya mencapai 180.612,4 ton. Dari produksi perikanan, 95,83% merupakan hasil produksi perikanan laut dengan nilai produksi selama 2005 mencapai Rp. 2.215 miliar atau menurun 44,86% banding 2004 yang mencapai Rp 2.451 miliar.
Populasi ternak besar dan kecil selama tahun 2005 umumnya naik. Ternak kerbau pada 2005 naik 14,54% dari 1.131 ekor pada 2004 menjadi 1.292 ekor pada tahun 2006, sementara ternak kuda dari 1.576 ekor pada 2004 menjadi 1.501 ekor pada 2005 lalu meningkat menjadi 2.061 ekor pada 2006. Kenaikan persentase dialami ternak sapi (8,6%), kambing (5,37%) dan babi (19,50%). Populasi ternak kecil, antara lain ini kampung naik 18,99%, ayam pedaging naik 90% dan ayam ras petelur meningkat 19,58%.
sumber : http://www.indonesia.go.id

Selasa, 25 Februari 2014

Di Wamena ada Mumi ?

Sebelumnya, saya telah memposting cerita rakyat Indonesia yang berjudul Asal Usul Nama Wamena. Ketika googling sumber mengenai Wamena, saya menemukan sebuah gambar seperti dibawah ini.

Pada awalnya, saya menduga, foto tersebut adalah patung kayu seperti yang dibuat oleh kebanyakan masyarakat Papua. Nyatanya, saya salah. Foto tersebut adalah MUMI!

Mumi?!

Ya, mumi, seperti mumi di Mesir atau mumi lainnya. Sebuah fakta yang menurut saya menarik. Kenapa? Indonesia gitu loh. Seumur-umur saya membaca, tak pernah sekali pun saya menemukan fakta bahwa Indonesia punya mumi. Wow...

Mumi di Wamena
Oke, ini postingan saya tentang mumi di Wamena, yang informasinya saya kurasi dari berbagai sumber.

***

Jadi, di Wamena terdapat dua mumi yang paling terkenal. Salah satunya mumi Wim Motok Mabel. Dalam bahasa lokal, Wim berarti perang. Motok berarti panglima. Dan Mabel adalah nama aslinya. Mumi ini berada di Desa Yiwika, Distrik Kurulu, Wamena, Papua.

Usia mumi ini? Jangan ditanya, ratusan tahun. Satu sumber menyebutkan angka 378 tahun, sumber lain menyebutkan 278 tahun. Ya, perbedaan usia tidak perlu diperdebatkanlah...

Sebuah pertanyaan tentang menggelitik benak kita semua tentang bagaimana cara memumifikasi jenazah disana?

Kebanyakan referensi menyebutkan bahwa proses mumifikasi adalah dengan pembalseman dengan racikan tertentu. Tapi, mumi di Wamena melalui proses mumifikasi yang lebih tradisional lagi.

Jadi, jenazah diasapi selama 200 hari di dalam honai (rumah adat Papua) khusus, yang jauh dari area pemukiman. Proses ini dibarengi dengan terus dilakukan pembaluran lemak babi ke tubuh jenazah. Nanti setelah terbentuk baru dipindahkan ke rumah keturunannya. Dan tetap terus diasapi dan dibalur hingga kini untuk perawatan.

Berikut beberapa foto eksklusif yang saya himpun dari detiktravel.

Mumi di Wamena
Mumi di Wamena 
Mumi di Wamena menjadi magnet bagi para pelancong. Untuk berfoto bersama mumi ini, pengunjung diharuskan merogoh kocek sedikit dalam. Menarik bukan ?

sumber : http://365ceritarakyatindonesia.blogspot.com

Asal-Usul Nama Raja Ampat

Asal-usul Nama Raja Ampat

Masyarakat setempat percaya jika di Teluk Kabui Kampung Wawiyai, pernah hidup sepasang suami istri yang menemukan enam telur naga.

Cerita ini berawal dari perjalanan keduanya mencari makan di tengah hutan. Saking asyiknya, tanpa terasa kaki mereka telah melangkah sampai ke tepi Sungai Waikeo. Di mana, mereka kemudian menemukan enam telur naga.

Saat membawa keenam telur naga tersebut, keduanya tak memiliki firasat apapun. Dipikirnya telur-telur itu hanyalah telur biasa saja. Makanya, setelah dibawa pulang, mereka menyimpannya di dalam kamar sebelum dimasak. Tapi, belum sempat dimasak, empat dari enam telur-telur itu menetas. Dari dalam keluar sosok manusia. Empat laki-laki dan satu wanita. Nama mereka masing-masing adalah War, Betani, Dohar, Mohammad, dan Pintolee (yang wanita).

Seiring berjalannya waktu, kelima anak ini tumbuh. Pintolee kemudian didapati oleh kakaknya hamil di luar nikah. Dia dihanyutkan dalam kulit bia (kerang besar) sampai terdampat di Pulau Numfor.

Keempat kakak laki-laki Pintolee pun kemudian diangkat menjadi raja untuk empat pulau yang besar. Yaitu: War diangkat raja di Waigeo, Betani diangkat di Salawati, Dohar di Lilinta, dan Mohamad di Waiga. Sedangkan, telur naga yang tidak menetas hingga saat ini masih disimpan dan mendapat penghormatan khusus dari masyarakat setempat.

Nah, empat raja yang mendiami pulau-pulau utama itulah yang kemudian dijadikan dasar penamaan Raja Ampat ini.[]

sumber : http://365ceritarakyatindonesia.blogspot.com

Senin, 24 Februari 2014

Kebiasaan masyarakat Papua memakan buah pinang


Kebiasaan Masyarakat Papua Memakan Buah Pinang


Masyarakat Papua sangat menggemari memakan buah pinang yang menghasilkan air ludah berwarna merah itu bisa membuat lingkungan menjadi kotor, Mereka yang makan pinang ditambah campuran lainnya, sama seperti orang makan sirih yang menghasilkan air ludah berwarna merah. Biasanya air ludah itu dimuntahkan begitu saja di jalan, atau di mana saja. Bisa dibayangkan kalau air ludah itu dibuang di sembarang tempat  maka semua jalanan dan tempat-tempat santai akan berwarna merah, dinding-dinding juga berwarna merah akibat air ludah yang berwarna merah itu.

Jalan-jalan di sekitar terminal Bandara, atau di Kota Jayapura sendiri sebagian memang berwarna merah karena masyarakat dengan seenaknya membuang ludah di jalan atau tempat-tempat lainnya. Kesan jorok pasti terasa, dan kalau tahu penyebab warna merah itu adalah air ludah, maka kita akan hati-hati melangkah agar tidak menginjaknya.
Ada yang mengatakan, ludah berwarna merah itu tidak hanya dibuang di jalan, tapi kadang-kadang dengan sengaja dibuang ke bangunan yang baru dicat, atau lantai yang baru dibangun di sebuah bangunan baru. Yang bisa dilakukan hanyalah menempel stiker seperti larangan makan pinang itu. Dan itu pun rasanya belum tepat karena yang dilarang seharusnya membuang air ludah sembarangan, bukan tradisi makan pinang itu.

Kebiasaan membuang ludah hasil makan pinang itu sama seperti yang terjadi di Myanmar. Penduduk di sana juga terbiasa makan sirih yang dijual di pinggir jalan. Seperti merokok, setiap orang dapat membeli sirih untuk sekali makan. Karena itu, jangan heran di Myanmar jalan-jalan penuh dengan warna merah karena ludah berwarna merah dibuang sembarangan di jalan-jalan.

Kesan yang timbul mengunjungi Bandara Sentani memang sangat tidak nyaman. Semua toilet yang ada di Bandara itu dalam keadaan rusak, walau kata petugasnya sedang direnovasi. Toilet yang ada di terminal kedatangan, dan kebarangkatan semuanya tergenang air. Apalagi yang berada di luar terminal, semua toiletnya sedang ditutup karena alasan sedang dalam perbaikan. Kita khawatir genangan air yang ada di toilet itu selain air kencing dan air lainnya, pasti di dalamnya juga tercampur dengan air ludah yang berwarna merah dari pemakan pinang tersebut.

Dan lebih tidak menarik lagi di hampir semua Bandara di Papua, banyak anggota masyarakat yang bisa masuk sampai ke pinggir landasan tempat pesawat parkir, seperti di Bandara Sentani. Petugas memang berusaha untuk mencegah mereka masuk dan menghalau mereka untuk keluar dari daerah yang sebenarnya tertutup tersebut. Tapi mereka tetap tidak mau keluar dari lingkungan yang terbatas tersebut. Bagaimana faktor keselamatan penerbangan dengan adanya kelonggaran seperti itu.

Pemerintah memang telah berusaha memberikan yang terbaik bagi masyarakat, dan masyarakat juga sebenarnya harus menjaga dan memelihara apa yang telah dibangun oleh pemerintah tersebut. Kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan kita, apalagi Papua merupakan salah satu tujuan wisatawan mancanegara, sehingga harus kita jaga kebersihannya dengan tidak membuang ludah sembarangan.
 
sumber : http://kangmini.blogspot.com

Tradisi Potong jari di Papua Indonesia

Tradisi Potong Jari

TRADISI POTONG JARI, TRADISI BERKABUNG DI PAPUA
Kesedihan saat telah ditinggal pergi oleh orang yang cintai dan kehilangan salah satu anggota keluarga sangat perih.
Lain halnya dengan masyarakat pegunungan tengah Papua yang melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarganya yang meninggal tidak hanya dengan menangis saja. Melainkan ada tradisi yang diwajibkan saat ada anggota keluarga atau kerabat dekat seperti; suami,istri, ayah, ibu, anak dan adik yang meninggal dunia. Tradisi yang diwajibkan adalah tradisi potong jari. Jika kita melihat tradisi potong jari dalam kekinian pastilah tradisi ini tidak seharusnya dilakukan atau mungkin tradisi ini tergolong tradisi ekstrim. Akan tetapi bagi masyarakat pegunungan tengah Papua, tradisi ini adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan sebagian anggota keluarganya.
Bisa diartikan jari adalah symbol kerukunan, kebersatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga. Walaupun dalam penamaan jari yang ada ditangan manusia hanya menyebutkan satu perwakilan keluarga yaitu Ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbadaan setiap bentuk dan panjang memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Satu sama lain saling melengkapi sebagai suatu harmonisasi hidup dan kehidupan. Jika salah satu hilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.
Alasan lainya adalah "Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik" atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu fam/marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya (Hisage, Yulianus Joli, 07:2005). Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua. Hanya luka dan darah yang tersisa. Pedih-perih yang meliput suasana. Luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga baru sembuh jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena itulah masyarakat pegunungan papua memotong jari saat ada keluarga yang meninggal dunia.

Menurut informasi yang telah berkembang, bahwa pemotongan jari umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan pemotongan dilakukan oleh anggota orang tua keluarga laki-laki atau perempuan. Jika tersebut kasus yang meninggal adalah istri yang tak memiliki orang tua, maka sang suami yang menanggungnya.
Tradisi potong jari juga dilakukan oleh para Yakuza di Jepang. Tradisi ini muncul dari kaum Bakuto yang berartikan kaum penjudi. Tradisi potong jari disebut dengan yubitsume. Berbeda dengan yang ada di Papua pemotongan jari sebagai penolakan musibah yang merenggut nyawa atau bentuk berkabung karena anggota keluarga meninggal dunia. Akan tetapi yubitsume (potong jari) dilakukan sebagai penyesalan atapun sebagai bentuk hukuman. Awalnya hukuman yubitsume bersifat simbolik, karena ruas atas jari kelingking yang dipotong membuat si empunya tangan menjadi lebih sulit memegang pedang dengan kuat. Hal ini menjadi simbol kesungguhan dan ketaatan terhadap pemimpin.
Tradisi potong jari di Papua dilakukan dengan berbagai cara ada yang menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak atau parang. Cara lainya yaitu mengikat jari dengan seutas tali sampai beberapa lama waktunya sehingga menyebabkan aliran darah terhenti dan pada saat aliran darah berhenti baru dilakukan pemotongan jari.

Selain tradisi pemotongan jari, ada juga tradisi yang dilakukan dalam upacara berkabung. Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan oleh kelompok atau anggota dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai konotasi berarti setiap orang yang telah meninggal dunia telah kembali kea lam. Manusia berawal dari tanah dan kembali ke tanah.

Tradisi potong jari pada saat ini belom ada sumber yang mengatakan bahwa masih berlangsung tradisi potong jari, namun belum ada sumber juga yang menyebutkan tradisi ini telah punah dan tidak dilaksanakan lagi. Bisa dikatakan ada namun jarang ditemui atau dilakukan dikarenakan mungkin karena pengaruh agama yang mulai berkembang di sekitar daerah pegunungan tengah Papua.

sumber : http://kebudayaanindonesia.net

Beberapa nama-nama bahasa daerah di Papua Indonesia

Beberapa Nama-nama Bahasa Daerah di Papua Indonesia


haloo!